Latar Belakang
Glenmore adalah salah satu kota yang berada di daerah banyuwangi. Nama Glenmore sendiri tidak lepas dari sejarah masa kolonial Belanda. Glenmore memiliki arti bukit besar atau daerah yang berada di dataran tinggi dengan hamparan tanah luas dan sejuk. Pada masa penjajahan kolonial Belanda daerah Glenmore dijadikan sebagai tempat pemukiman dan perkebunan. Perkebunan yang saat itu berkembang adalah perkebunan tebu, kopi, dan coklat.
Menurut sejarahnya, pada masa kerajaan Blambangan tidak banyak dokumen yang menyebut tentang daerah Glenmore, karena saat itu wilayah Blambangan hanya fokus pada daerah Jatirejo, Klakah, Kabat, banyuwangi kota, sampai ke Songgon. Sedangkan daerah Glenmore pada awalnya merupakan daerah hutan belantara yang belum terjamah oleh aktivitas manusia.
Pada akhir abad ke-19 sampai pada awal abad ke-20, Belanda mulai memasuki daerah Glenmore dengan tujuan untuk membuka perkebunan di daerah tersebut. Saat itu pada tahun 1906 Belanda menerapkan kebijakan politik etis liberalisasi tanah jajahan, kebijakan ini mendatangkan banyak investor asing yang datang ke Glenmore untuk membuka kawasan hutan menjadi lahan perkebunan. Oleh karena itu Glenmore sering disebut sebagai daerah yang memiliki banyak perkebunan, baik dari inisiasi Belanda maupun dari inisiasi Investor asing.
Salah satu tokoh yang berperan penting dalam mengenalkan daerah Glenmore adalah Mas Panji Djoyoningrat atau biasa dikenal dengan Mbah Yasin. Beliau adalah penerjemah Hamengkubuwono saat diajak ke negeri Belanda, oleh karena itu Mbah Yasin bisa mendampingi investor asing yang akan membuka perkebunan dan mengenalkan daerah yang sekarang disebut Glenmore tersebut. Mbah Yasin juga berteman dekat dengan Ros Taylor seorang pengusaha dari skotlandia dan juga pendiri perkebunan di Glenmore.
Pada masa awal Belanda dan para investor asing datang ke daerah Glenmore komoditas utama yang mereka tanam adalah kopi dan karet. Sekitar tahun 1938 atau 1940 terjadi wabah penyakit daun di kopi sehingga Belanda mulai membuka komoditas baru yaitu tanaman coklat pada awal tahun 1940-an namun dalam jumlah yang terbatas.
Awal mula kolonial Belanda membuat perkebunan Kakao di Kalirejo Kendenglembu, Glenmore dapat ditelusuri kembali ke awal abad ke-19. Pada masa itu, Belanda telah memulai ekspansi ke Indonesia dan membangun beberapa koloni di pulau Jawa.
Pada masa-masa awal Belanda dan investor orang-orang Eropa masuk ke Glenmore, fokus mereka adalah menanam kopi dan karet. Ini adalah komoditas utama yang mereka tanam di Glenmore dan sekitarnya. Sedangkan Cokelat adalah komoditas belakang setelah terjadi wabah ulat daun di kopi itu sekitar tahun 1938 atau tahun 1940. sehingga membuat Belanda mulai berinisiatif untuk membuka komoditas lain. Dari siinilah mulai tanaman cokelat kakao mulai dikenalkan dibeberapa perkebunan disini sekitar tahun 1940-an. Tetapi jumlahnya masih terbatas. Belanda mulai mengembangkan perkebunan Kakao di wilayah ini, dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan menguasai pasar global. Pada awalnya, perkebunan kakao di Kalirejo kendenglembu, Glenmore dikelola oleh para petani lokal yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Dalam beberapa tahun berikutnya, Belanda meningkatkan pengembangan perkebunan kakao di wilayah ini dengan memperkenalkan teknologi modern dan mempekerjakan lebih banyak petani. Mereka juga membangun infrastruktur seperti jalan, irigasi, dan gudang untuk mendukung kegiatan perkebunan. Dengan demikian, produksi kakao di Kalirejo kendenglembu, Glenmore meningkat, dan perkebunan ini menjadi salah satu yang terbesar di Jawa Timur.
Dengan adanya sejarah cokelat ini kemudian diwujudkan dalam bentuk Doeson kakao. Doeson Kakao merupakan representasi dari perjalanan panjang sejarah cokelat masuk ke Indonesia, lalu masuk ke Banyuwangi atau tepatnya Glenmore.
Pada akhirnya, perkebunan kakao di Kalirejo kendenglembu Glenmore menjadi salah satu contoh keberhasilan kolonial Belanda dalam pengembangan perkebunan di Indonesia. Mereka berhasil meningkatkan produksi Kakao dan menguasai pasar global, sehingga perkebunan ini menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintahan kolonial Belanda.
Aktivitas Kolonial
Belanda melakukan aktivitas kolonialismenya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Aktivitas kolonial dapat berupa eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia terhadap suatu wilayah koloni. Perkebunan kakao serta pabrik pengolahannya di Kalirejo kendenglembu Glenmore merupakan salah satu contoh keberhasilan aktivitas kolonial Belanda di Indonesia. Dalam pembahasan kali ini akan difokuskan pada Regional 5 Kebun Kalirejo Kendenglembu yang telah kelompok kami kunjungi untuk penelitian. Menurut satpam yang ada di pos Regional 5 Kebun Kalirejo Kendenglembu, pabrik yang sudah berhenti dipakai sejak tahun 2018 tersebut dulunya digunakan untuk mengolah hasil kopi dan karet.
PT. Perkebunan Nusantara I Regional 5 Kebun Kalirejo Kendenglembu mulai beroprasi pada tahun 1910. Data yang menunjang mengenai regional 5 ini sangatlah minim, tidak dapat diketahui berapa total keuntungan pabrik ini dalam kurun waktu 1910 hingga 1914. Dalam buku Rapport van JG van Hamert in zake de werkvolkkwestie di Banjoewangi disebutkan bahwa dewan pengelolanya adalah GG Schrieke, Bandoeng, serta administratornya adalah JD Bodemeyer. Di dalam perusahaan di Kalirejo ini total tanaman yang ditanam berjumlah 992 yang berupa pohon kopi, coklat, manilla hennep (rami manila) dan karet. Namun, tanaman yang produktif hanya 379 pohon kopi serta 287 manilla hennep. Selain mempekerjakan masyarakat sekitar untuk melakukan penanaman, kolonial Belanda juga sebenarnya telah merencanakan rencana kerja tahunan yang akan dilaksanakan setaip tahunnya, namun di pabrik Kalirejo ini tidak terlaksana karena pembangunan perusahaan yang belum selesai pada masa penulisan laporan tersebut serta mengakhiri pekerja. Pemeliharaan dalam perusahaan juga tidak selalu memadai, hal ini disebabkan oleh kurangnya pekerja pula. Meski begitu, panen kopi terjadi setiap tahunnya di Kalirejo.
Para pekerja di Kalirejo terbagi menjadi dua kategori umum, yaitu yang berasal dari Jawa dan Madura. Pada tahun 1910, 1911, 1912, dan 1913 terdapat 317 laki-laki serta 108 perempuan asal Jawa yang telah bekerja selama enam bulan lebih di perusahaan Kalirejo bersama 261 laki-laki dan 70 perempuan Madura. Hal serupa terjadi pada tahun 1914 yang tercatat dalam laporan buku van JG van Hamert in zake de werkvolkkwestie, bahwa total pekerja laki-laki dari Jawa hanya tersisa 75 orang serta berkala 25 orang. Hal ini menunjukkan penurunan jumlah pekerja yang sangat signifikan. Namun, di tahun berikutnya menunjukkan peningkatan jumlah pekerja, dimana terdapat 48 laki-laki dan 26 perempuan Jawa, serta 117 laki-laki dan 47 perempuan Madura. Pekerja yang berjumlah total 238 orang tersebut didominasi oleh orang-orang Madura, dapat dilihat bahwa jumlah pekerja asal Jawa semakin menurun. Menangapi penurunan tersebut, pihak Belanda telah merencanakan mengenai berapa pekerja yang mereka butuhkan pada tahun berikutnya agar target yang dapat mereka capai. Di perusahaan yang ada di Kalirejo sendiri membuat rencana kerja bahwa mereka memerlukan total 2000 pekerja pada tahun 1916, 1500 pekerja pada tahun 1917, serta 1500 pekerja pada tahun 1918.
Aktivitas kolonial Belanda kepada masyarakat Glenmore khususnya wilayah Kalirejo terlihat jelas dalam upah harian yang diberikan kepada para pekerjanya. Pada tahun 1910 hingga 1914, pekerja laki-laki diberi upah harian sebanyak 40 hingga 50 ct (sen Eropa). Sedangkan para pekerja wanitanya diberi gaji lebih sedikit lagi, yaitu hanya 30 sampai 35 ct perharinya.
Kebijakan Belanda
Perkebunan milik Belanda pada awalnya terbagi menjadi beberapa daerah. Dengan perkebunan pertamanya di kali kempit pada tahun 1898 yang kemudian diusulkan dengan perkebunan-perkebunan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu perkebunan milik belanda berpusat di kendeng lembu. Tercatat pada laporan milik Van den Adjunct bahwa pembagian perkebunan milik belanda yang berada di Glenmore terdapat perkebunan Kali Kempit, Kali Redjo, Pegoendangan dan Kendeng Lembu. Perkebunan ini dijamin dengan modal yang berbeda-beda tiap kawasannya. Modal tersebut dimulai dari Æ’400.00-1.400.000 lebih. Namun, beberapa kawasan mendapat tambahan modal seperti pada kendeng lembu yang mendapat tambahan modal sebesar Æ’500.000. Untuk memperluas wilayahnya sendiri biasanya akan disesuaikan dengan ketersediaan jumlah para pekerjanya, dan kinerja pekerja itu sendiri. Jika memiliki usulan untuk memperluas wilayah harus disesuaikan pula dengan kemampuan dan ketersediaan pekerja seperti di Pegoedangan yang mendorong perluasan dengan ditanami 1.500, namun dikurangi menjadi 900 karena kurangnya tenaga kerja.
Biaya operasional setiap tahun. Pada a. pemeliharaan pemeliharaan b. biaya umum c. biaya panen d. jumlah e. bangunan atau lahan yang ditanami.
Gambar 4. Biaya Operasional
Tanaman yang digunakan pada kebijakan belanda ini terdapat tanaman kopi, karet, kakao, serat abaka atau henep manila. Penanaman terhadap lahan tidak dilakukan setiap tahun karena pada dasarnya proses reklamasi menyelesaikan sendiri kekurangan pekerja, juga pada saat itu juga di wilayah Kendenglembu sendiri yang baru proses pembangunan.
Perkebunan milik Belanda pun tidak semua berjalan lancer terjadi penurunan dan tidak mencapai target penjualan karena berbagai alasan.
Pada perkebunan Kali Kempit
• Pada tahun 1901 belum melampui target karena Perluasan penanaman lebih kecil dari yang ditentukan, panen lebih kecil, tidak ada pembayaran kanon.
• Pada tahun 1902 melampaui target, karena Lebih mahal untuk dioperasikan; pembayaran bunga pada rekening obligasi, yang tidak diantisipasi.
• Pada Tahun 1903 mengalami penurunan dan tidak mencapai target karena Perluasan penanaman lebih kecil karena sulitnya pemeliharaan kebun yang ada.
• Pada tahun 1904-1914 sudah melampui target karena Panen lebih besar dan pembelian lahan baru. Pembelian satu bidang tanah, karena tunggakan biaya pemeliharaan taman yang mahal dan pembayaran bunga obligasi. Bunga pinjaman obligasi tidak dianggarkan. Perawatan taman lebih mahal, panen lebih banyak, dan 100 konstruksi lebih banyak. Cuaca basah berarti pemeliharaan taman lebih mahal dan luasnya lebih mahal. Kenaikan upah mingguan dan eksploitasi yang mahal serta pengeluaran yang lebih besar untuk pembangunan.
Di Kali Redjo,
• Pada tahun 1911-1914 Melampui target karena karena tidak adanya pekerja dan pada tahun 1914 karena jabatan di Hindia dibayar dan dianggarkan di Belanda.
Di Kendeng Lembu
• Pada tahun 1911-1912 tidak mempui target karena Reklamasi dan konstruksi belum selesai dan pemeliharaan taman tidak memadai. Panen 1000 pikol lebih sedikit dari perkiraan, sekali lagi konstruksi belum siap dan pemeliharaan kebun tidak memadai.
• Namun pada tahun 1913 target terlampui karena Panen 1.111 pikol lebih banyak dari perkiraan, pembangunan rel kereta api, lebih sedikit.
• Pada tahun 1914 terjadi penurunan karena Karena ketinggian yang luar biasa dan kekurangan orang untuk pemeliharaan taman.
Perkebunan milik Belanda di wilayah Kali Kempit, Kali Redjo, Pegoendangan, Kendang lembu kekurangan pegawai. Pemeliharaan taman tidak selalu memadai karena pemeliharaan taman dan pohon selalu diabaikan dan diabaikan oleh pekerja. Terlebih lagi pekerja biasanya sudah diberi tugas untuk menyiapkan tanah perkebunan, pembuatan lubang tangkapan, mencegah limpasan udara, pemotongan jamur upas, dan pemberantasan penyakit pada kopi. Untuk pemeliharaan taman, seperti pemangkasan dan penyiangan tidak dapat dilakukan selalu atau setiap saat karena tidak mengizinkan pekerja.
Para pekerja yang bekerja di wilayah Kali Kempit, Kendang Lembu, Pegoendangan, Kali Redjo ini kebanyakan berasal dari Suka Madura dan Jawa. Pekerja yang dipekerjakan oleh belanda sendiri tidak memandang jenis kelamin seperti pria ataupun wanita. Dengan jumlah para pekerjanya hingga mencapai ratusan orang pada setiap wilayahnya. Akan tetapi, para pekerja tersebut pekerja lepas bukan pekerja tetap.
Dampak terhadap masyarakat
Perkebunan yang dibangun oleh kolonial Belanda memiliki dampak yang cukup berpengaruh terhadap masyarakat khususnya daerah Glenmore dan sekitarnya. Pada pertumbuhan ekonomi wilayahnya adanya Perkebunan Kendenglembu ini membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Hal ini juga menarik investor untuk memberi modal. Hal ini juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada saat itu berupa banyaknya masyarakat yang mendapat pekerjaan di pabrik perkebunan Kendenglembu. Selain itu, pendapatan dari adanya perkebunan ini disebabkan juga adanya produksi karet, kakao, dan kopi. Produksi ini dapat menciptakan dan meningkatkan pendapatan bagi perusahaan dan pekerja yang terlibat dalam pabrik perkebunan Kendenglembu.
Dampak lain adanya perkebunan Kendenglembu ini pada pasokan udara di wilayah tersebut. Pipa Sarengan menyediakan pasokan udara untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari. Adanya Pipa ini untuk mencukupi pasokan udara di perkebunan agar subur dan meningkatkan prosuksi. Hal ini juga untuk dukungan operasional pabrik perkebunan. Pabrik ini merupakan entitas ekonomi di wilayah tersebut. Udara Pasokan menunjang pertumbuhan dan menjaga operasionalnya. Selain itu, infrastruktur yang ada di wilayah tersebut mendukung operasi pabrik dan transportasi hasil perkebunan seperti jembatan, jalan dan transportasi lainnya. Masyarakat yang bekerja disana juga mengajarkan tentang bagaimana mengolah perkebunan oleh pihak kolonial Belanda.
Untuk upah sebagian besar pekerjaan dilakukan dalam bentuk tugas dan orang-orang kemudian memperoleh penghasilan rata-rata 40% lebih tinggi dari upah harian. Hal ini tentu saja berlaku bagi manusia yang bekerja dengan baik. Dampaknya pada masa kini, untuk memperluas perkebunan ini bisa untuk mengeksplore atau sumber informasi keberadaan kolonial Belanda pada masa itu. Hal ini mendorong adanya wisatawan yang berkunjung. Memberikan dampak positif pada bidang ekonomi di wilayah Kendeng Lembu.
Peninggalan
1. Perkebunan Kendeng Lembu
Awal mulanya perkebunan ini dibangun oleh pihak Belanda dan merupakan sebuah perkebunan yang dimiliki swasta pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Dengan nama LMOD David Berni (NV Rubber Culltur Mij Kendeng Lembu Cs.) yang berdiri tahun 1900-an. Hingga tahun 1957 perkebunan ini masih dimiliki oleh NV Rubber Culltur Mij. Kemudian pada tanggal 12 Desember diambil alih PPN (Perusahaan Perkebunan Negara). Hingga sekarang berada dibawah PT. Perkebunan Nusantara XII yang berada di Kendenglembu Banyuwangi. Selanjutnya disebut sebagai PTPN XII yang berada di bawah naungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dengan statusnya menjadi perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Perkebunan ini menghasilkan tanaman antara lain seperti, kakao, tebu, dan kopi. PTPN XII Kendenglembu ini kemudian dibagi atas beberapa daerah/afdeling yaitu, yaitu Afdeling Kantor, Afdeling Besaran, Afdeling Rejosari, Afdeling Kaliputih, Afdeling Gentengan, Afdeling Kampung Anyar, afdeling Semampir, Afdeling Pager Gunung, Afdeling Kampung Baru, Afdeling Pabrik, dan Afdeling Sumber Manis.
2. Pabrik Pengolahan Karet dan Kopi
Pabrik peninggalan Belanda yang masih dimanfaatkan berada di Desa Karangharjo. Terdapat empat pabrik peninggalan Belanda yang berada disekitar wilayah tersebut, namun hingga sekarang yang masih digunakan hanya dua pabrik saja. Dua kondisi pabrik lainnya sudah rusak parah. Menurut penuturan penjaga pabrik, pabrik tersebut merupakan bekas pengolahan Karet dan Kopi. Sudah berhenti beroprasi pada tahun 2018. Pemanfaatannya kini hanya digunakan sebagai kantor IKBI PTP Nusantara XII Cabang Kendenglembu saja.
3. Jembatan Kuda Kendenglembu
Oleh masyarakat sekitar jembatan ini sering disebut sebagai “Jembatan Kudung” dengan alasan karena memiliki atap. Dalam bahasa Indonesia sendiri Kuda memiliki arti “penutup kepala”. Penutup yang ada pada jembatan sendiri memiliki fungsi untuk melindungi dari panas maupun hujan. Jembatan ini merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda yang masih tetap eksis digunakan hingga masa sekarang. Letak jembatan ini berada di wilayah administrasi jalur masuk perkebunan Kendenglembu Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi. Jembatan ini diperkirakan dibangun pada tahun 1914 yang tertulis di atas jembatan. Jembatan ini kemudian dibangun oleh perusahaan swasta milik Belanda yaitu, NV Rubber Culltur Mij Kendenglembu. Jembatan ini dibangun dengan tujuan untuk mendukung operasional perkebunan mereka. Dibangun menggunakan rangka kayu besar sehingga kokoh sampai sekarang dan belum pernah dilakukan renovasi hanya dilakukan pergantian kucing saja oleh masyarakat sekitar. Jemabatan ini menjadi bukti bahwa perkebunan yang dibangun Belanda memiliki peran di Banyuwangi.
KESIMPULAN
Kolonial Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Kehadirannya membuat masyarakat Indonesia resah. Pada tahun 1906 Belanda wilayah Glenmore bertujuan untuk membuka perkebunan menuju ke sana. Perkebunan tersebut lalu dibuatkan pabrik oleh Belanda seperti kakao, kopi dan karet. Aktivitas kolonial dapat berupa eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia terhadap suatu wilayah koloni. Pada perkebunan kakao serta pabrik pengolahannya di Kalirejo, Kendenglembu, Glenmore merupakan salah satu contoh keberhasilan aktivitas kolonial Belanda di Indonesia. Lalu, ada kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Belanda. Pembangunan perkebunan ini pasti ada dampaknya terhadap masyarakat seperti meningkatnya perekonomian. Peninggalan Belanda ada Jembatan dan pabrik perkebunan. Jadi, pada perkebunan Kendenglembu ini banyak sekali peninggalan kolonial Belanda yang menarik bagi sejarawan dan wisatawan.
Penulis
Dinda Candra Wijaya
Findy Riska Ananda
Jessica Latifur Rofiq
Layta Nilna Fanka
Umi Asmak'ul Maslukhah
Sofia Latifah
DAFTAR PUSTAKA
Fadlillah A, dkk. Dampak Kolonialisme "Jejak Perkebunan Eropa Dikecamatan Glenmore". SMK ENTAF.
Firmansyah, A., & Fardian, MI 2019. Glenmore: Sepetak Eropa di Tanah Jawa. Banyuwangi: Historica Glenmore.
Hemert, JGvan. 1916. Hubungan Vinzake de Werkvolkkwestie di Banjoewangi. Bijlage BIII dan BIV. Deel 1897 A 34. Visser.
Nayli, N. (2019). Budidaya Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Di Kebun Kendenglembu Ptpn Xii Glenmore-Banyuwangi Kajian Khusus: Panen Buah Kakao.
Yudiana, IK (2018). Pengembangan Situs Kendenglembu Sebagai Objek Pariwisata Sejarah di Kabupaten Banyuwangi, 7(1), 147-158.
Social Footer