Pada tanggal 16 Juni 2023, peneliti melakukan wawancara bersama Bapak Suwanto di Desa Bayu Rejo, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi pukul 13.25 WIB hingga pukul 15.33 WIB.
Gambar 2 Wawancara bersama Bapak Suwoto pada 16 Juni 2023 (Sumber: Dokumen Pribadi)
1. Halo Bapak Suwoto, Bolehkah Anda bercerita sedikit tentang diri Anda?
Saya adalah seorang mantan guru di Kecamatan Songgon, Desa Bayu Rejo. Saya lahir pada tahun 1939 dan saat ini usia saya 84 tahun. Sehubungan dengan penelitian yang akan ditanyakan, Saya juga seorang yang pernah ikut berkontribusi dalam mendirikan monument Perang Puputan Bayu pada Tahun 2004.
2. Bisakah Anda ceritakan bagaimana kronologi peristiwa Perang Puputan Bayu terjadi?
Kata Puputan sendiri berasal dari Bahasa Using yang artinya habishabisan, sedangkan Bayu adalah nama daerah bernama Bayu. Menurut Bapak Suwoto, bahwa Sejarah Perang Puputan Bayu ini pernah ditemukan oleh mahasiswa Bayuwangi yang kebetulan pernah menempuh pendidikan di Belanda. Dan ketika mahasiswa tersebut berada di dalam perpustakaan milik Belanda, tidak sengaja menemukan sebuah buku tentang perang Puputan Bayu. Akhirnya oleh mahasiswa tersebut dipelajarilah buku itu dan dibawa pulang ke Indonesia pada masa tahun kemerdekaan. Selain dipelajari, buku itu juga di telaah dan ternyata isinya benar-benar menceritakan mengenai tragedi Perang Puputan Bayu pada saat itu.
Menurut Bapak Suwoto, Perang Puputan Bayu terjadi pada18 Desember tahun 1771, dimana peristiwa tersebut hingga kini ditetapkan sebagai hari jadi Banyuangi. Perang ini terjadi sebagai karena rakyat Indonesia khususnya warga Blambangan merasa geram dan tak tahan dengan aturan penjajah Belanda yang mencekik kehidupan mereka. Belanda mempekerjakan paksa warga dan tidak menyediakan makanan bagi mereka, hingga akhirnya warga Blambangan melakukan perlawanan terhadap VOC.
3. Mengapa Buku Perang Puputan Bayu bisa sampai di Belanda?
Karena Belanda kalah dalam perang dan merasa malu kepada rakyat Blambangan yang pernah ditindasnya. Selain itu Belanda tidak ingin masyarakat Indonesia meremehkan Belanda yang bisa kalah juga. Jadi akhirnya Belanda membawa buku tersebut agar masyarakat Indonesia tidak mengetahuinya.
4. Apakah dari peristiwa Perang Puputan Bayu terdapat warisan budaya atau peninggalan yang dapat dilihat hingga sekarang?
Menurut Bapak Suwoto, dalam perang tersebut semua rakyat melakukan perang secara habis-habisan sehingga membuat rakyat Blambangan sudah kehabisan seluruh harta bendanya. Bapak Suwoto juga menceritakan mengenai peninggalan-peninggalan atau warisan perang yang kini sudah tidak tersisa lagi. Hal tersebut dapat terjadi karena ketika seorang warga menemukan peninggalan perang, mereka bukannya menyerahkan kepada pemerintah, tatapi menjualnya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Lalu setelah perang Puputan berakhir warga sekitar berisiniatif untuk membangun sebuah Monumen sebagai pengingat bahwa telah terjadi perang habis-habisan disana. Dan salah satu masyarakat disana menghibahkan sebagian tanah miliknya untuk digunakan sebagai tempat membangun monemun tersebut yang saat ini diberi nama Rowo Bayu Songgon. Setiap hari jadi Banyuwangi sering diadakan syukuran untuk mengenang para pejuang juga agar generasi sekarang bisa mengenal tentang sejarah Perang Puputan Bayu di monument tersebut.
5. Bagaimana hasil akhir dari Perang Puputan Bayu?
Perang Puputan Bayu ini dipimpin oleh Pangeran Jagapati atau Mbah Rempeg yang dibantu laskar-laskar pribumi dari Madura dan daerah Jawa Timur lainnya. Akhirnya Perang dimenangkan oleh masyarakat Bayu.
Sejarah Perang Puputan Bayu Banyuwangi
Perang Puputan Bayu merupakan perang yang terjadi di Blambangan, Banyuwangi pada tahun 1771-1772 antara pejuang Blambangan dengan pasukan VOC Belanda. Blambangan saat ini telah masuk dalam kecamatan Songgon. Daerah tersebut mayoritasnya bersuku Osing yang memiliki bahasa khas yakni bahasa Osing.
Perang Puputan Bayu bermula ketika pada tahun 1743, secara sepihak terjadi perjanjian yang dilakukan oleh Paku Buwono II (pemimpin Mataram) dengan Gubernur Jenderal Van Imhoff (Pejabat VOC Belanda), dimana perjanjian tersebut berisikan penyerahan kekuasaan Jawa bagian timur yang dimulai dari Pasuruan kepada pihak VOC Belanda.4 Paku Buwono II menyerahkan kekuasaanya (tanah pesisir bagian timur) ternyata mendapat ganti rugi atau uang kompensasi sebesar 20 golden setiap tahun dari VOC Belanda. Namun, dari kalangan keraton sendiri merasa bahwa keputusan yang diambil Paku Buwono II sangat disayangkan, sebab tanah pesisir merupakan tanah yang memiliki potensi-potensi penting dari sebuah kerajaan, dimana pada saat itu salah satu alat transportasi penyaluran perdagangan rata-rata menggunakan jalur pelayaran (jalur laut).
Setelah Blambangan jatuh ditangan VOC Belanda, mereka tidak gegabah dan tidak langsung mengotak-atik wilayah tersebut. Wilayah Blambangan bagi VOC Belanda dijadikan sebagai “barang simpanan” yang akan dikelola sewaktuwaktu ketika dibutuhkan.
Pada tahun 1766, Blambangan didatangi oleh pedagang baru dari Inggris. Inggris kala itu menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor-kantor dagang bernama Tirta Ganda, Tirta Arum.5 Memang Belanda pada waktu itu masih belum mengotak-atik wilayah kekuasaannya, namun ketika Belanda mengetahui bahwa Blambangan merupakan wilayah yang memiliki potensi yang dapat memberikan keuntungan lebih dan mengetahui juga bahwa terdapat saingan baru dari Inggris, maka VOC Belanda tidak tinggal diam. Kegiatan dagang yang dilakukan Inggris mencemaskan pihak VOC Belanda terlebih kala itu tepi Laut Jawa yang menjadi jalur utama perdagangan terdapat kekacauan.
Akibatnya pemerintah Belanda memiliki inisiatif untuk menghentikan perdagangan yang dilakukan Inggris, dimana Gubernur VOC kala itu yang bernama Johanes Vos mengeluarkan perintah pada tanggal 12 Agustus 1766 agar melakukan patroli diselat Bali dan sekitarnya. Selain itu, pemerintah Belanda yang ada di Batavia melakukan penangkapan kapal-kapal dagang dari Inggris agar tidak bisa melakukan aktivitas gadang, sebab kala itu moda transportasi utama dalam perdagangan adalah kapal atau pelayaran.
Pada tahun 1766, VOC berniat mengirimkan ekspedisi besar-besaran ke daerah Blambangan dibawah pimpinan Erdwin Blanke dari Semarang yang membawa 25 kapal besar dan beberapa kapal kecil. Ekspedisi tersebut terdiri dari serdadu-serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan Pasuruan, sebab pengaruh dari Belanda di Nusantara kala itu cukup besar hingga rakyat pribumi pun mau ikut menyerang dan melawan saudaranya sendiri. Pada tanggal 20 Februari 1767 ekspedisi tersebut dimulai. Perjalanan ekspedisi tersebut berlangsung selama 22 hari, dan sampailah pasukan VOC Belanda di Banyualit yang masuk ke dalam wilayah Blambangan. Kedatangan mereka membuat rakyat Blambangan merasa terusik sehingga membuat pertikaian-pertikaian kecil sering terjadi.
Perang pertama yang dilakukan oleh Mbah Agung Wilis yang merupakan seorang pejuang tangguh dari Blambangan untuk melawan kolonialisme Belanda. Perang tersebut bernama perang Wilis yang dimulai pada 21 Maret 1767 hingga 18 Mei 1768 yang menyerang benteng-benteng bentukan Belanda.6 Namun, perang tersebut dimenangkan oleh pihak VOC Belanda sebab Belanda sendiri dibantu oleh laskar-laskar Madura hingga membuat Blambangan hancur. Meskipun begitu, kekalahan perang yang dilakukan Mbah Agung Wilis tidak menyurutkan semangat pejuang-pejuang pribumi Blambangan untuk tetap melawan Belanda.
Semenjak VOC Belanda memenangkan perang dan menguasai Blambangan. Mereka mulai membentuk kekuasaan yang sewenang-wenang dengan sistem kekerasan. Mereka melakukan eksploitasi terhadap potensi-potensi yang dapat dan di peroleh di wilayah Blambangan, bahkan melakukan kekejaman terhadap penduduk lokal, serta mereka membentuk sistem rezim otoriter baik di bidang politik dan ekonomi. Dengan sistem tersebut, mereka dapat dengan mudah menguasai dan mampu menekan penduduk di segala bidang. Mulailah mereka melakukan sistem monopoli dagang dengan melakukan ekspansi-ekspansi terhadap wilayah sekiarnya.
Untuk kepentingan ekonominya, VOC Belanda melakukan strategi Devide Et Empera (politik adu domba).7 Kala itu, Kerajaan Bali takut dengan pengaruh agama Islam yang dibawa oleh Mataram, sehingga Bali melakukan perluasan pengaruh didaerah Blambangan sebab daerah tersebut dekat dengan kekuasaannya. Akibat dari strategi yang dilakukan VOC Belanda, Pangeran Danuningrat (saudara Mbah Agung Wilis) meminta pada penguasa Belanda untuk mengusir dan mengakhiri pengaruh Kerajaan Bali di wilayah Blambangan.
Setelah melakukan strategi politik adu domba, VOC Belanda mulai melakukan praktik kejam terhadap rakyat Blambangan, dimana kala itu Mayor Colmond (komandan tertinggi VOC di Blambangan) yang memiliki watak keras dan sifat tegas memberlakukan rakyat Blambangan layaknya seekor hewan. Colmond merampas semua beras-beras yang ada dipenjuru negeri dan mengangkutnya, apabila tidak mau diangkut maka dia menyuruhnya untuk membakarnya. Pada musim hujan, Colmond menyuruh penduduk lokal untuk menanam sawah-sawah mereka kembali, dan hasil panennya diberikan ke pihak Belanda. Lebih dari itu, VOC Belanda melakukan pelecehan-pelecehan seksual terhadap wanita dan gadis pribumi, anak-anak, janda, bahkan istri orang. Kebutuhan pokok masyarakat pribumi pun dirampas dan menyuruh rakyat bekerja keras (kerja paksa) membangun dan memperkuat benteng VOC di Ulupangpang dan Kuta Leteng, membuat jalan-jalan atas kepentingan sendiri (VOC Belanda), membuat penangkis air di Gunung Ikan untuk pengawasan atas gerak-gerik yang dilakukan pasukan Bali. Mirisnya, pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi didak diimbangi dengan imbalan makanan. VOC Belanda tidak menyediakan makanan untuknya, hingga berakibat kesengsaraan, kelaparan dan menimbulkan penyakit hingga berakhir pada kematian. Atas perlakukan Belanda terebut, banyak rakyat pribumi yang melarikan diri ke hutan.
Dari perlakukan-perlakukan yang dilakukan Belanda membuat masyarakat pribumi dibawah tekanan dan ancaman yang begitu tinggi hingga menimbulkan kebencian rakyat pribumi terhadap Belanda dimana-mana. Hingga pada tanggal 18 Desember 1771 pejuang-pejuang Blambangan melakukan serangan umum secara “puputan” atau perang secara habis-habisan terhadap benteng musuh.
Para pejuang Blambangan maju digaris depan dengan membawa senjata apa adanya seperti golok, keris, tombak, pedang dan senjata api yang diperolahnya dari Inggris yang membuka kantor dagang di Tirta Ganda, senjata tersebut merupakan bekas milik tentara VOC. Perang ini dipimpin oleh Mbah Rempeg (Jagapati). Dia selalu berada digaris depan peperangan, namun Mbah Rempeg gugur akibat lukaluka dari Perang Puputan Bayu ini. Peperangan ini VOC berhasil dihancur luluhlantahkan dan sebagian dari mereka digiring ke parit-parit jebakan yang sebelumnya telah dibuat oleh pasukan Blambangan serta menghujaninya dengan senjata dari atas.
Komandan VOC Van Schaar, Letnan Kornet Tinner dan banyak tentara Belanda terbunuh dalam peperangan ini. Kepala Van Schaar dipenggal dan ditancapkan pada unjung tobak kemudian diarak keliling desa. Akibat serangan ini VOC bertindak defensive (bertahan) dengan berusaha menutup jalan keluar dan masuk wilayah Blambangan, baik yang di darat maupun yang berada di Selat Bali. Kemudian VOC Belanda melakukan strategi lain salah satunya perintah Van Den Burgh agar memberlakukan rakyat Blambangan dengan lemah lembut agar Belanda dapat melakukan serangan mengejutkan terhadap rakyat Blambangan.
Benar saja, pada 11 Oktober 1772 Belanda melakukan gempuran habishabisan dan menembaki dengan meriam-meriam. Salah satu pemimpin perang Belanda yakni Heinrich dengan 1.500 pasukannya menerobos dan menyerang benteng Bayu dari sayap kiri. Kemudian Bayu dapat direbut kembali oleh VOC. Pejuang-pejuang Bayu banyak yang ditangkap dan sebagian lagi melarikan diri ke hutan. Pejuang Bayu yang tertangkap kemudian kepalanya dipotong dan digantunggantungkan di pohon dan ditancap-tancapkan ditonggak pagar sepanjang jalan desa. Atas perintah Residen Schopoff, pejuang Bayu baik laki-laki atau pun perempuan ditangkap dan ditawan di Ulupangpang dan tidak sedikit ada yang di dihukum mati dengan cara menenggelamkan mereka ke laut menggunakan pemberat batu, disiksa, dirajam, dan sebagian lagi ada yang dibawa ke Surabaya dan Batavia untuk dijadikan budak.
Sumber-sumber Tradisional
Secara umum ketika membahas mengenai perang dan sumber-sumber tradisional, maka akan dikaitkan dengan babad atau hikayat. Babad merupakan salah satu karya tertua di Indonesia. Penulisan babad biasanya didasari atas perintah seorang penguasa yang ada diwilayah tersebut, namun tidak semua wilayah memiliki babad. Salah satu wilayah yang memiliki babad adalah Blambangan, salah satu wilayah di Jawa Timur. Babad Blambangan memiliki nama asli yaitu Babadipun Nagari Blambangan Ngantos Nagari Banyuwangi yang ditulis oleh Tumenggung Arya Natadiningrat pada tanggal 7 Juli 1915. Babad ini memiliki dua naskah yaitu puisi dan prosa.
Babad Blambangan yang ditulis dengan huruf Jawa, Bali, Pegon, dan Latin ini disusun oleh beberapa penulis sebagai serpihan-serpihan tulisan yang tersebar dalam beberapa dokumen. Dalam Babad Blambangan terdapat beberapa subcerita, yaitu Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan Babad Notodiningratan. Istilah babad merupakan leksikon lokal yang bersinonim dengan riwayat, sejarah, dan tambo. Dalam konteks Babad Blambangan kemungkinan terakhir lebih bisa dipertanggungjawabkan dengan menggali sumbersumber Jawa dan Belanda, Kanjeng Raden Notodiningrat, Bupati Banyuwangi, mulai menulis babad ini pada hari Rabu, 23 Ruwah 1845 menurut tarikh Jawa, atau tanggal 7 Juli 1915 M; ia dibantu oleh Tuan Ottolander dari Tamansari. Selain disusun oleh beberapa penulis, karakteristik tersebut juga menunjukkan waktu penulisan yang beragam.
Babad Bayu mencatat peristiwa sejarah mengenai kerajaan Bayu yang tidak mau tunduk kepada Blambangan. Selanjutnya Blambangan menyerang kerajaan Bayu dengan mendapat bantuan dari kerajaan Sumenep dan Kompeni. Dalam ingatan masyarakat, peristiwa tersebut dikenal dengan Perang Puputan Bayu yang memakan banyak korban jiwa dari pihak pasukan Bayu. Banyaknya korban jiwa tersebut menimbulkan kreasi masyarakat utamanya para pejuang dengan membangun perlawanan budaya, dalam bentuk seni tari gandrung dan syair tembang "Padha Nonton" dan "Seblang Lukinto". Hal itu dilakukan sebagai upaya mempertahankan identitas lokal mereka. Tulisan ini memfokuskan pada masalah Babad Blambangan dalam kaitannya dengan sejarah perlawanan budaya lokal dan identitas.
Babad Bayu ditulis oleh Wiraleksana pada tahun 1826. Wiraleksana adalah seorang pedagang dari Lumajang. Babad Bayu melukiskan segala macam tanda alam yang meramalkan kematian atau kegagalan yang akan menimpa seseorang. Babad Bayu juga menceritakan kisah-kisah perempuan yang menangisi kepergian atau kematian suaminya. Kaitan sejarah dengan Blambangan, babad ini menceritakan penaklukkan Blambangan dari pihak Madura.
Strategi Yang Dipakai Kedua Belah Pihak
Perang Puputan Bayu Banyuwangi adalah peristiwa penting dalam sejarah Banyuwangi yang terjadi pada tahun 1771. Perang ini melibatkan dua belah pihak, yaitu pasukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang mewakili kekuasaan kolonial Belanda, dan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Bayu Banten, seorang pemimpin lokal yang melawan dominasi Belanda. Berikut adalah penjelasan strategi yang dilakukan oleh kedua belah pihak selama Perang Puputan Bayu Banyuwangi.
Di pihak VOC Belanda, mereka menggunakan beberapa strategi untuk melawan para pejuang Blambangan, seperti (1) mempersiapkan Pasukan: VOC memobilisasi pasukan yang terlatih dan dilengkapi senjata modern seperti senapan, meriam, dan pedang, (2) menjaga Komunikasi: VOC membangun jaringan komunikasi yang efektif antara pasukan di medan perang dan pusat komando di tempat lain, sehingga memungkinkan mereka untuk berkoordinasi dan mengirimkan bantuan dengan cepat, (3) memiliki Keunggulan Teknologi: VOC menggunakan senjata modern dan teknologi militer yang unggul seperti meriam dan senapan, memberikan mereka keunggulan dalam hal daya tembak dan jarak serang, (4) melakukan blokade: VOC melakukan blokade terhadap wilayah yang dikuasai oleh pasukan pemberontak, memotong pasokan dan upaya bantuan dari luar, (5) menjalin aliansi: VOC berusaha menjalin hubungan dengan pihak-pihak lokal yang tidak mendukung pemberontakan, baik melalui diplomasi maupun dengan memberikan imbalan, (6) menyerang basis pemberontak: VOC melakukan serangan terhadap basis pemberontak, termasuk desa-desa dan benteng-benteng yang dikuasai oleh pasukan Bayu Banten.
Sedangkan di pihak para pejuang Blambangan, mereka melakukan berbagai cara dan strategi untuk melawan VOC Belanda, yakni dengan (1) memakai strategi Gerilya: Pasukan pemberontak menggunakan strategi gerilya, melakukan serangan mendadak dan kemudian mundur ke wilayah yang sulit dijangkau oleh pasukan VOC, (2) penguasaan wilayah terpencil: Pasukan pemberontak memanfaatkan keberadaan wilayah terpencil dan medan yang sulit dijangkau untuk melindungi diri dan melancarkan serangan balasan, (3) memobilisasi penduduk setempat: Pemberontak berhasil memobilisasi dukungan dari penduduk setempat, termasuk petani, nelayan, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang tidak puas dengan kehadiran Belanda, (4) pengetahuan lokal: Pasukan pemberontak memanfaatkan pengetahuan mereka tentang medan, rute tersembunyi, dan jaringan rahasia untuk menghindari serangan VOC, (5) melakukan serangan mendadak: Pemberontak melakukan serangan mendadak dengan tujuan membingungkan pasukan VOC dan mengambil keuntungan dari kejutan tersebut, (6) pertahanan di benteng-benteng: Pasukan pemberontak memperkuat benteng-benteng mereka, baik secara fisik maupun dengan mengatur taktik pertahanan yang efektif untuk melawan serangan VOC.
Selama Perang Puputan Bayu Banyuwangi, kedua belah pihak menggunakan strategi dan taktik yang berbeda dalam upaya untuk mencapai tujuan mereka. VOC mengandalkan kekuatan militer dan teknologi modern, sementara pihak pejuang Blambangan menggunakan strategi gerilya, pengetahuan lokal, dan dukungan masyarakat setempat. Perang ini berlangsung dengan keras dan berkepanjangan, namun pada akhirnya pasukan VOC berhasil mengalahkan pasukan pejuang Blambangan.
Bekas Peninggalan perang Puputan Bayu
Dalam perang Puputan Bayu banyak digunakan senjata api hasil rampasan dari Inggris. Ada juga senjata-senjata tradisisonal seperti tombak, pedang, golok. Namun, senjata tersebut hingga kini tidak dapat di temukan. Hal tersebut terjadi bisa dikarenakan perang puputan yang menghabiskan seluruh senjata hingga tidak bersisa, ehtah rusak atau tidak lagi berfungsi. Selain itu ketika warga menemukan suatu barang peninggalan perang cenderung menyembunyikan atau tidak mau menyerahkannya pada pemerintah. Mereka akan menjual barang tersebut karena dinilai barang antic dengan harga tingga, sehingga dapat memberikan keuntungan.
Oleh sebab itu, tidak ada peninggalan yang pasti atau masih bisa dilihat hingga saat ini. Akan tetapi ada suatu monumen yang terletak di Kecamatan Songgon, Banyuangi yang bernama Rowo Bayu Songgon. Monumen ini memang bukan suatu peninggalan perang, akan tetapi pendiriannya didasarkan untuk mengenang perang Puputan Bayu yang pernah terjadi.16 Diharap dari adanya monument tersebut, masyarakat Bayu dapat mengenang perjuangan pejuangpejuang Blambangan pada masa lalu yang telah berkorban demi membela hak dan tanah ibu pertiwi.
PENULIS:
Ageng Rachmad, Nabilatus Sa’adah, Rima Nur Mutmaina, Qorina Nandita I, Muhammad Yusron
REFERENSI
Arifin, Winarsih Partaningrat, ‘Babad Blambangan’, 1995, 337
Fanani, Ardian, ‘Perang Puputan Bayu Di Rowo Bayu Banyuwangi Tewaskan 60 Ribu Rakyat Blambangan’, Detik.Com (21 Mei 2022, 2022)
Social Footer